MediaLink

Membingkai Lapindo “Pendekatan Konstruksi Sosial Atas Kasus Lapindo”

Menguak Ketertutupan Kasus Lapindo 

 

Semua berawal dari itikad baik untuk membuka akses informasi atas kasus Lapindo kepada publik luas. informasi adalah publik, begitulah prinsip yang mendasari penerbitan buku bunga rampai ini. usaha mempublikasikan bunga rampai Membingkai Lapindo ini merupakan salah satu usaha untuk menyebarluaskan informasi-informasi tentang kasus Lapindo kepada publik.

Di tahun 2010, Walhi Jatim, LHKI Surabaya dan Posko Korban Lumpur Lapindo melayangkan permintaan informasi tentang penanganan korban lumpur Lapindo pada 13 (tiga belas) badan publik di jawa timur. Ada dua jenis informasi yang ingin dikumpulkan melalui kegiatan tersebut: pertama, informasi untuk pemulihan kondisi sosial, lingkungan, infrastruktur, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan lain-lain; dan kedua, informasi untuk pencegahan risiko (mitigasi) yang berisi pantauan, identifikasi dan strategi pencegahan resiko seputar semburan lumpur lapindo. Dari ke-13 badan publik tersebut hanya lima yang merespon yaitu: Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo (BPLS), Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sidoarjo, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jatim dan Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo.

Dari lima badan publik tersebut, hanya BPLS dan Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo yang bersedia menerima wawancara langsung terkait informasi seputar bencana lumpur, sementara tiga yang lain hanya memberikan data-data sekunder tentang apa yang sudah mereka kerjakan terkait dengan kasus Lapindo. Sekilas, hikmah dari Kegiatan Permintaan Informasi adalah bahwa mengumpulkan, mengelola, mengolah dan mendistribusi informasi belum “menjadi tradisi” dikalangan pejabat-pejabat badan publik (Novenanto, 2010).

Tak jarang mereka terjebak dalam rutinitas administratif-birokratis yang justru mengesampingkan perihal yang secara substansial mendesak untuk segera dibahas dan ditindaklanjuti. Dalam latar sosial semacam inilah habitus informasi publik di Indonesia sedang dibentuk.

 

Unduh Buku:
 

 

 

 

Akuntabilitas Sosial Pelayanan Kesehatan Daerah Perbatasan

Mengapa Layanan Kesehatan di Wilayah  Perbatasan Penting?

 

Mens sana in corpore sano,sebuah ungkapan Latin yang populer, menunjukkan hubungan erat antara kesehatan badan dan jiwa. Kesehatan (badan dan jiwa) adalah prasyarat bagi kehidupan, keberlangsungan masyarakat dan negara, sertakeberlanjutan kehidupan.

Sebab itu, kesehatan bukan semata urusan personal, melainkan urusan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Dalam konstitusi Indonesia, hidup sehat diakui sebagai hak warga negara, termasuk hak warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan (pasal 28H ayat (1) UUD 1945). Selanjutnya, pasal 34 ayat (3) menegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan. Ketentuan inisejalan dengan dokumen internasional Declaration of Human Rights bahwa jaminan kesehatan merupakan hak asasi manusia.

Meski secara konstitusi telah sangat jelas, pelaksanaannya adalah perkara lain. Indonesia masih berusaha keras memenuhi kebutuhan layanan kesehatan warga, khususnya di wilayah perbatasan.

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menyebutkan, kawasan perbatasan negara merupakan wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Wilayah-wilayah tersebut umumnya sulit dijangkau karena infrastruktur yang sangat terbatas, tingkat kesejahteraan relatif rendah, atau bahkan terisolasi secara ekonomi.

Unduh buku: Akuntabilitas Sosial Pelayanan Kesehatan Daerah Perbatasan