Jakarta – MediaLink bersama dengan Konsorsium INKLUSI menggagas penganugerahan karya jurnalisme inklusif. Gagasan ini disampaikan saat penyelenggaraan kegiatan diskusi penentuan indikator penilaian untuk anugerah karya jurnalisme inklusif di Bakoel Koffie Cikini pada tanggal 06 November 2023. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari Konsorsium INKLUSI seperti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Setara Institute. Kegiatan ini juga dihadiri oleh organisasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Asosiasi Media Siber Indonesia, dan Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman.
Ahmad Faisol selaku Direktur MediaLink dalam sambutannya menyampaikan bahwa gagasan penganugerahan jurnalisme inklusif ini pertama kali diinisiasi saat pertemuan pelatihan jurnalisme yang diselenggarakan oleh SETARA Institute di Yogya. Diskusi ini adalah tindak lanjut pertemuan tersebut untuk menyusun dan menyepakati indikator penghargaan dalam pemberian anugerah karya jurnalisme inklusi.
lebih lanjut, ia menyampaikan “harapannya kedepan adalah dengan adanya penganugerahan ini dapat memberikan ruang dan mengangkat pemberitaan tentang kelompok rentan juga minoritas serta memperkuat jurnalisme inklusif di masa depan. Selain itu, nilai-nilai toleransi yang inklusi juga bisa terangkat. Fokus yang akan kita lihat dalam penilaian anugerah ini adalah produk medianya atau beritanya. Makanya kita masuk ke beragaman”.
Daniel Awigra dari perwakilan organisasi SEJUK menyampaikan “SEJUK telah menyusun indikator pedoman pemberitaan isu keberagaman turunan dari pedoman yang disusun Dewan Pers. Indikator ini digunakan dalam penilaian award yang dilakukan oleh organisasi SEJUK melalui kategori seperti keberagaman pada tingkat manajemen, pendidikan dan pelatihan tentang keberagaman berbasis SARA dan gender di media. Kita juga melihat sejauh mana komitmen jurnalisme dan pemberitaan pada isu-isu pluralisme, teknis jurnalistik, etika jurnalistik, karya pendukung dan kesesuaian tema yang selanjutnya diberikan bobot penilaian untuk pemberian award jurnalisme”.
Disaat yang sama, Nani Afrida perwakilan AJI Indonesia menyampaikan “AJI sangat konsen dengan isu inklusi, isu perempuan, anak dan disabilitas. Isu inklusi ini tidak begitu popular sehingga implementasi menjadi tantangan dalam penyebaran informasi oleh media. Terkait indikator penilaian perlu dimasukkan indikator sustainability, etika jurnalistik, menggunakan keberagaman sebagai interseksi”.
Pemilihan juri harus berdasarkan gender. Media jangan ada diskriminasi. Jadi peserta dari Media yang tidak terverifikasi di dewan pers perlu di masukkan. AJI lagi mendorong adanya media alternatif. Bagi media online yang tidak terverifikasi di dewan pers maka kita bisa lihat dan verifikasi dari sini. Soal keberagaman perlu di kontekskan lagi. Apakah ingin fokus di moderasi agama atau toleransi namun akan ada interseksi gender.
Adi Pras dari AMSI menyebutkan “kita telah melakukan dua kali award. Usulan kriteria dan indikator yang perlu dimasukkan meliputi kualitas informasi yang disajikan, media yang memiliki tata kelola baik, kualitas informasi, etika jurnalisme. Kita juga perlu melihat kriteria tentang keberanian dan integritas, alur penulisannya, dampak jurnalisme atau isi pemberitaan, pedoman pemberitaan keagamaan perlu dimasukkan dalam indikator awards serta penambahan untuk kategori media lokal yang inklusif.
Kesimpulan akhir diskusi penilaian untuk anugerah karya jurnalisme inklusif akan difokuskan di isu KBB dan inklusi tetapi ada interseksi GEDSI. Indikator yang akan dinilai yaitu teknik jurnalistik, sustainability, etika, integritas dan keberanian. Sementara kategori jurnalisme akan dibagi melalui pemberitaan terbaik, karya inspiratif, karya paling berani atau memberi dampak, pilihan pembaca, media nasional, media daerah, media mainstream, media alternatif/ komunitas dan pers mahasiswa. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam kegiatan diskusi berikutnya.