MediaLink

Tata Kelola yang Baik akan Selamatkan Anak Cucu dari Hutang Masa Lalu

Jambi –  (OCFI) Konsorsium Open Climate Change Financing in Indonesia (Indonesia Budget Center, Indonesia Governance Institute, Perkumpulan Media Lintas Komunitas) yang merupakan gabungan tiga lembaga masyarakat sipil untuk penelitian terkait pendanaan perubahan iklim di Indonesia, melakukan focus group discussion (FGD) dengan tema “Implementasi Program BioCarbon Fund Provinsi Jambi”, di Swiss-Belhotel Kota Jambi pada Selasa, 29 Agustus 2023.

Diskusi terfokus ini diselenggarakan oleh Konsorsium OCFI bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jambi, dan melibatkan beberapa organisasi pemerintah daerah (OPD) di lingkup Pemerintahan Daerah Provinsi Jambi.

Kepala Bappeda Provinsi Jambi, Agus Sunaryo, dalam sambutannya yang diwakilkan oleh Kepala Bidang Perekonomian & SDA Bappeda Provinsi Jambi, Ahmad Subhan menyampaikan, Pemerintah Provinsi Jambi senantiasa meningkatkan kerja sama untuk mewujudkan program BioCarbon Fund Integrated Sustainable Forest Landscape (BioCF ISFL) di Provinsi Jambi.

Program BioCF ISFL, dijelaskan Subhan, adalah program yang bertujuan untuk mempromosikan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor lahan, penurunan deforestasi dan degradasi hutan, termasuk pengelolaan pertanian dan pengelolaan lahan lain, untuk meminimalisir kehilangan tutupan hutan dan lahan.

“Program ini tentu saja yang masih terbatas di sektor AFOLU. Dapat menjadi pembiayaan tambahan untuk pelaksanaan program pembangunan di Provinsi Jambi, terutama dalam lingkup pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi terhadap kawasan maupun non kawasan hutan,” paparnya.

Provinsi Jambi juga telah menetapkan Peraturan Nomor 4 Tahun 2023 tentang Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan sudah disingkronkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi, yang akan dijadikan acuan bagi perangkat daerah untuk melaksanakan program berbasis ekonomi hijau, termasuk pendanaan perubahan iklim.

OFCI, yang tergabung di dalamnya adalah Perkumpulan Media Lintas Komunitas (Medialink), Indonesia Budget Center (IBC), dan Indonesia Governance Institute memandang perlu untuk didorong tata kelola pendanaan perubahan iklim yang baik, tidak hanya dilihat dari penurunan emisinya saja, tapi juga bagaimana memastikan proses yang lebih transparan dan akuntabel.

“Dan kita memastikan juga bahwa kepentingan dari masyarakat, dan dalam hal ini juga pemerintah daerah untuk kemudian menjadi bagian yang penting dalam penerimaan dana dari pendanaan iklim ini,” kata Tanti Budi Suryani, dari Perkumpulan Medialink yang mewakili konsorsium OCFI memberikan kata sambutan dalam diskusi tersebut.

Tanti menyampaikan, khusus untuk kajian di tahun 2023 ini pihaknya memfokuskan Jambi menjadi objek penelitian di level daerah. Pada level nasional sendiri konsorsium OCFI telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan melalui beberapa kali pertemuan, terutama dengan Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia, serta Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

Data temuan konsorsium OCFI dari riset di level nasional, pendanaan perubahan iklim yang masuk ke Indonesia sejak 2011 hingga sekarang jumlahnya cukup besar. Per tahun 2015 hingga 2018  saja, ada sekitar $1,8 miliar dana perubahan iklim yang masuk ke Indonesia di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), dan puluhan triliun dolar masuk ke APBN.

Kemudian Jambi, dalam skema pendanaan perubahan iklim tidak hanya pada program BioCF ini saja, tetapi jauh sebelumnya konsorsium OCFI menemukan bahwa Jambi juga sudah seringkali menjadi bagian dari proyek besar percontohan untuk perubahan iklim di Indonesia. Misalnya yang masih berdekatan dengan REDD+, ada project Berbak Ekosistem di tahun 2009 – 2012, dangan dana sekitar 290 ribuan ponsterling.

“Kenapa kami penting mendorong kajian tentang good governance di Indonesia? Temuan dasar kami di level nasional, tata kelola pendanaan perubahan iklim yang menggunakan adopsi tentang asas pemerintahan yang baik berdasarkan undang-undang itu juga tidak cukup kuat di level nasional. Umumnya dia hanya dijadikan prinsip, tapi praktek khusus tentang tata kelola yang baik itu cukup lemah di level nasional,” papar Direktur Indonesian Governance Institute, Muhammad Affan, dalam forum itu.

“Padahal,” tambahnya, “Hasil riset kita 2019 menunjukkan bahwa sektor sektor yang menjadi fokus dari pendanaan perubahan iklim ini, terutama di negara negara indeks presepsi korupsinya rendah termasuk Indonesia, itu adalah sektor sektor yang rentan terhadap prilaku korupsi.”

Sebagian besar dana perubahan iklim yang masuk ke Indonesia adalah berbentuk hutang, hibah hanya menjadi bagian kecilnya saja. Itu artinya, ada sesuatu yang harus dibayarkan rakyat Indonesia kepada si pemberi dana. Maka penguatan tata kelola dana yang tepat sasaran dan akuntabel menjadi penting, agar anak cucu kita kelak tidak menanggung beban hutang masa lalu.***

Bantuan Mengalir Deras, Tata Kelola Dana Perubahan Iklim Harus Akuntabel

Perubahan iklim menjadi ancaman katastropik secara global. Begitu juga Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut hingga hilangnya pulau-pulau. Belum lagi masalah suhu dan emisi gas rumah kaca yang mengalami tren kenaikan, bahkan Indonesia diperkirakan mengalami kerugian ekonomi sebesar 0.66 – 3,45 persen Produk Domestik Bruto (PDB) akibat perubahan iklim.

Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya melalui konsep Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (REDD) yang kemudian dalam perkembangannya berubah menjadi REDD+ dalam agenda COP 11 pada 2015, Indonesia sudah mengantongi komitmen pendanaan untuk ambisi nol emisi dari dunia International. Climate Policy Initiative (CPI) pada 2015 misalnya, Indonesia mendapatkan bantuan dana dari luar negeri sekitar 900 juta dollar AS pada 2011. Laporan KLHK juga menyebutkan bahwa Indonesia juga mendapatkan dana sekitar 1,8 miliar dollar AS selama kurun 2015 – 2016.

Dalam diskusi bertajuk “Tata Kelola Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia, yang diselenggarakan oleh konsorsium Open Climate Fund in Indonesia (OCFI) diampu oleh tiga organisasi masyarakat sipil: MediaLink, Indonesia Governance Institute (IGI) dan Indonesia Budget Center (IBC), bekerjasama dengan Kementerian Keuangan RI, pada Jumat (07/07/2023), OCFI mencermati dari data awal bahwa bantuan internasional untuk pendanaan perubahan iklim bukan sekadar hibah, tapi juga dalam bentuk pinjaman.

Direktur Indonesia Governance Institute (IGI) Muh. Affan dalam diskusi tersebut mengatakan, sebagian besar bantuan internasional untuk pendanaan perubahan iklim di Indonesia dalam bentuk pinjaman:

“Hibah dari internasional tidak begitu besar sebenarnya,” kata Muh. Affan dalam diskusi bertajuk

Affan menuturkan, 99 persen bantuan internasional yang dikucurkan ke Indonesia untuk agenda perubahan iklim dalam bentuk pinjaman. Sedangkan bantuan dunia internasional dalam bentuk hibah hanya 1 persen.  “Tapi seolah-olah yang lebih tampil ke publik adalah dana hibah yang mengelola soal perubahan iklim di Indonesia,” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Joko Tri Haryanto menyebutkan bahwa kondisi tersebut tidak lepas lantaran pengelolaan pendanaan perubahan iklim mengalami perubahan paradigma. Joko mengatakan, pemerintah tidak ingin mengandalkan APBN dalam pendanaan perubahan iklim.

“Kalau konvensional, paradigmanya selalu pendekatannya cost center (APBN). Padahal, harusnya kita mulai reform dari cost center ke pembiayaan atau financing sehingga tidak menghabiskan dana APBN,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Joko menuturkan pemerintah melakukan berbagai inovasi pendanaan perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya penerbitan green sukuk pada tahun 2018 di mana setiap tahun pemerintah menerbitkan global green sukuk secara rutin untuk pembiayaan perubahan iklim. Lalu, ada juga Sustainable Development Goals (SDG’s) Bond.  Ini juga dipakai untuk pembiayaan climate.

Lebih lanjut, Affan menyadari memang APBN tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim yang mencapai Rp.377 triliun per tahun. Bahkan, dalam enam tahun terakhir, anggaran perubahan iklim yang bersumber dari APBN masih di bawah 7 persen. Hanya saja, sambung dia, pengelolaan dana perubahan iklim yang bersumber dari bantuan internasional masih belum transparan. Informasi mengenai pendanaan perubahan iklim juga terbatas.  Oleh sebab itu, Affan menekankan pentingnya akuntabilitas dan informasi komprehensif serta fokus dalam pengelolaan dana perubahan iklim, khususnya Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai lembaga penampung dan penyalur dana perubahan iklim yang dibentuk pemerintah pada 2019.

Apalagi, sebagian besar dana perubahan iklim yang diterima Indonesia dari luar negeri. “Artinya, meskipun dana itu untuk perubahan iklim, mengurangi emisi, tapi juga (pinjaman) itu berimplikasi kepada hutang yang akan ditanggung oleh anak cucu kita nanti. Perlu pengelolaannya yang transparan dan akuntabel,” tandas dia.

Lebih lanjut, Peneliti MediaLink, Tanti Budi Suryani mengingatkan pentingnya tata kelola pendanaan perubahan Iklim yang transparan dan akuntabel, terutama yang bersumber dari bantuan internasional baik dalam bentuk pinjaman maupun hibah.

“Bagaimana skema pendanaan maupun pembiayaan itu bisa benar-benar bermanfaat buat masyarakat,” tegas dia.

Tanti khawatir pengelolaan pendanaan perubahan iklim akan menimbulkan persoalan. Apalagi, beberapa pemerintah daerah juga turut mengelola dana perubahan iklim. Salah satunya Provinsi Jambi yang bakal mengelola dana sebesar 70 juta dollar AS untuk melaksanakan BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Lanscape (BioCF-ISFL)—program fasililitas multilateral yang didukung oleh pemerintah Negara pendonor dan dikelola oleh Bank Dunia. Begitu juga dengan Provinsi Kalimantan Timur bakal menerima dana sebesar 110 juta dollar AS dari Bank Dunia melalui Program Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF). Di mana pembayaran tahap pertama pada November 2022 lalu, Kalimantan Timur sudah mengantongi 10,9 juta dollar AS.

“Saya yakin ke depannya kalau coba kita petakan dari kerjasama-kerjasama itu, pasti akan ada beberapa daerah yang memiliki kerjasama juga,” tegas Tanti.

(rlh)