MediaLink

Medialink Bersama Konsorsium Inklusi Gagas Anugerah Karya Jurnalisme Inklusif

Jakarta – MediaLink bersama dengan Konsorsium INKLUSI menggagas penganugerahan karya jurnalisme inklusif. Gagasan ini disampaikan saat penyelenggaraan kegiatan diskusi penentuan indikator penilaian untuk anugerah karya jurnalisme inklusif di Bakoel Koffie Cikini pada tanggal 06 November 2023. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari Konsorsium INKLUSI seperti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Setara Institute. Kegiatan ini juga dihadiri oleh organisasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Asosiasi Media Siber Indonesia, dan Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman.

Ahmad Faisol selaku Direktur MediaLink dalam sambutannya menyampaikan bahwa gagasan penganugerahan jurnalisme inklusif ini pertama kali diinisiasi saat pertemuan pelatihan jurnalisme yang diselenggarakan oleh SETARA Institute di Yogya. Diskusi ini adalah tindak lanjut pertemuan tersebut untuk menyusun dan menyepakati indikator penghargaan dalam pemberian anugerah karya jurnalisme inklusi.

lebih lanjut, ia menyampaikan “harapannya kedepan adalah dengan adanya penganugerahan ini dapat memberikan ruang dan mengangkat pemberitaan tentang kelompok rentan juga minoritas serta memperkuat jurnalisme inklusif di masa depan. Selain itu, nilai-nilai toleransi yang inklusi juga bisa terangkat. Fokus yang akan kita lihat dalam penilaian anugerah ini adalah produk medianya atau beritanya. Makanya kita masuk ke beragaman”.

Daniel Awigra dari perwakilan organisasi SEJUK menyampaikan “SEJUK telah menyusun indikator pedoman pemberitaan isu keberagaman turunan dari pedoman yang disusun Dewan Pers. Indikator ini digunakan dalam penilaian award yang dilakukan oleh organisasi SEJUK melalui kategori seperti keberagaman pada tingkat manajemen, pendidikan dan pelatihan tentang keberagaman berbasis SARA dan gender di media. Kita juga melihat sejauh mana komitmen jurnalisme dan pemberitaan pada isu-isu pluralisme, teknis jurnalistik, etika jurnalistik, karya pendukung dan kesesuaian tema yang selanjutnya diberikan bobot penilaian untuk pemberian award jurnalisme”.

Disaat yang sama, Nani Afrida perwakilan AJI Indonesia menyampaikan “AJI sangat konsen dengan isu inklusi, isu perempuan, anak dan disabilitas. Isu inklusi ini tidak begitu popular sehingga implementasi menjadi tantangan dalam penyebaran informasi oleh media. Terkait indikator penilaian perlu dimasukkan indikator sustainability, etika jurnalistik, menggunakan keberagaman sebagai interseksi”.

Pemilihan juri harus berdasarkan gender. Media jangan ada diskriminasi. Jadi peserta dari Media yang tidak terverifikasi di dewan pers perlu di masukkan. AJI lagi mendorong adanya media alternatif. Bagi media online yang tidak terverifikasi di dewan pers maka kita bisa lihat dan verifikasi dari sini. Soal keberagaman perlu di kontekskan lagi. Apakah ingin fokus di moderasi agama atau toleransi namun akan ada interseksi gender.

Adi Pras dari AMSI menyebutkan “kita telah melakukan dua kali award. Usulan kriteria dan indikator yang perlu dimasukkan meliputi kualitas informasi yang disajikan, media yang memiliki tata kelola baik, kualitas informasi, etika jurnalisme. Kita juga perlu melihat kriteria tentang keberanian dan integritas, alur penulisannya, dampak jurnalisme atau isi pemberitaan, pedoman pemberitaan keagamaan perlu dimasukkan dalam indikator awards serta penambahan untuk kategori media lokal yang inklusif.

Kesimpulan akhir diskusi penilaian untuk anugerah karya jurnalisme inklusif akan difokuskan di isu KBB dan inklusi tetapi ada interseksi GEDSI. Indikator yang akan dinilai yaitu teknik jurnalistik, sustainability, etika, integritas dan keberanian. Sementara kategori jurnalisme akan dibagi melalui pemberitaan terbaik, karya inspiratif, karya paling berani atau memberi dampak, pilihan pembaca, media nasional, media daerah, media mainstream, media alternatif/ komunitas dan pers mahasiswa. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam kegiatan diskusi berikutnya.

Open Climate Change Financing In Indonesia (OCFI)

Open Climate Change Financing In Indonesia (OCFI) merupakan sebuah konsorsium yang dibentuk oleh kumpulan NGO nasional yang terdiri dari Indonesia Budget Center (IBC) yang bekerja untuk terwujudnya penganggaran negara yang terbuka dan adil dengan mendorong akuntabilitas pemerintah termasuk peningkatan kemampuan masyarakat sipil untuk mengawasi anggaran negara, Indonesia Governance Institute (IGI) yang fokus mendorong tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel, dan Perkumpulan Media Lintas Komunitas (Medialink) yang aktif bekerja untuk mewujudkan demokrasi yang didasarkan pada kesetaraan akses terhadap sarana dan sumberdaya informasi bagi semua orang.

Konsorsium ini di bentuk pada tahun 2023 yang bertujuan untuk mendorong penguatan tata kelola pendanaan perubahan iklim di Nasional dan Sub Nasional. Dalam menjalankan perannya, OCFI mengawal agar pengelolaan pendanaan perubahan iklim lebih transparan, akuntabel dan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Open Climate Change Financing In Indonesia (OCFI) merupakan sebuah konsorsium yang dibentuk oleh kumpulan NGO nasional yang terdiri dari Indonesia Budget Center (IBC) yang bekerja untuk terwujudnya penganggaran negara yang terbuka dan adil dengan mendorong akuntabilitas pemerintah termasuk peningkatan kemampuan masyarakat sipil untuk mengawasi anggaran negara, Indonesia Governance Institute (IGI) yang fokus mendorong tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel, dan Perkumpulan Media Lintas Komunitas (Medialink) yang aktif bekerja untuk mewujudkan demokrasi yang didasarkan pada kesetaraan akses terhadap sarana dan sumberdaya informasi bagi semua orang.

OCFI mengawali perannya dengan melakukan kajian tentang Tata Kelola Pendanaan Perubahan Iklim di level Nasional dan Provinsi Jambi. Kajian ini difokuskan pada 3 poin penting meliputi: (1) gambaran sumber pendanaan perubahan iklim di Indonesia termasuk mekanisme penyaluran, serta siapa penerima manfaat dana tersebut; (2) rumusan strategi pengawasan bagi masyarakat dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pendanaan perubahan iklim; dan (3) rekomendasi kebijakan penyaluran dana perubahan iklim agar lebih efektif dan efisien serta berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat.

Tata Kelola yang Baik akan Selamatkan Anak Cucu dari Hutang Masa Lalu

Jambi –  (OCFI) Konsorsium Open Climate Change Financing in Indonesia (Indonesia Budget Center, Indonesia Governance Institute, Perkumpulan Media Lintas Komunitas) yang merupakan gabungan tiga lembaga masyarakat sipil untuk penelitian terkait pendanaan perubahan iklim di Indonesia, melakukan focus group discussion (FGD) dengan tema “Implementasi Program BioCarbon Fund Provinsi Jambi”, di Swiss-Belhotel Kota Jambi pada Selasa, 29 Agustus 2023.

Diskusi terfokus ini diselenggarakan oleh Konsorsium OCFI bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jambi, dan melibatkan beberapa organisasi pemerintah daerah (OPD) di lingkup Pemerintahan Daerah Provinsi Jambi.

Kepala Bappeda Provinsi Jambi, Agus Sunaryo, dalam sambutannya yang diwakilkan oleh Kepala Bidang Perekonomian & SDA Bappeda Provinsi Jambi, Ahmad Subhan menyampaikan, Pemerintah Provinsi Jambi senantiasa meningkatkan kerja sama untuk mewujudkan program BioCarbon Fund Integrated Sustainable Forest Landscape (BioCF ISFL) di Provinsi Jambi.

Program BioCF ISFL, dijelaskan Subhan, adalah program yang bertujuan untuk mempromosikan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor lahan, penurunan deforestasi dan degradasi hutan, termasuk pengelolaan pertanian dan pengelolaan lahan lain, untuk meminimalisir kehilangan tutupan hutan dan lahan.

“Program ini tentu saja yang masih terbatas di sektor AFOLU. Dapat menjadi pembiayaan tambahan untuk pelaksanaan program pembangunan di Provinsi Jambi, terutama dalam lingkup pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi terhadap kawasan maupun non kawasan hutan,” paparnya.

Provinsi Jambi juga telah menetapkan Peraturan Nomor 4 Tahun 2023 tentang Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan sudah disingkronkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi, yang akan dijadikan acuan bagi perangkat daerah untuk melaksanakan program berbasis ekonomi hijau, termasuk pendanaan perubahan iklim.

OFCI, yang tergabung di dalamnya adalah Perkumpulan Media Lintas Komunitas (Medialink), Indonesia Budget Center (IBC), dan Indonesia Governance Institute memandang perlu untuk didorong tata kelola pendanaan perubahan iklim yang baik, tidak hanya dilihat dari penurunan emisinya saja, tapi juga bagaimana memastikan proses yang lebih transparan dan akuntabel.

“Dan kita memastikan juga bahwa kepentingan dari masyarakat, dan dalam hal ini juga pemerintah daerah untuk kemudian menjadi bagian yang penting dalam penerimaan dana dari pendanaan iklim ini,” kata Tanti Budi Suryani, dari Perkumpulan Medialink yang mewakili konsorsium OCFI memberikan kata sambutan dalam diskusi tersebut.

Tanti menyampaikan, khusus untuk kajian di tahun 2023 ini pihaknya memfokuskan Jambi menjadi objek penelitian di level daerah. Pada level nasional sendiri konsorsium OCFI telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan melalui beberapa kali pertemuan, terutama dengan Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia, serta Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

Data temuan konsorsium OCFI dari riset di level nasional, pendanaan perubahan iklim yang masuk ke Indonesia sejak 2011 hingga sekarang jumlahnya cukup besar. Per tahun 2015 hingga 2018  saja, ada sekitar $1,8 miliar dana perubahan iklim yang masuk ke Indonesia di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), dan puluhan triliun dolar masuk ke APBN.

Kemudian Jambi, dalam skema pendanaan perubahan iklim tidak hanya pada program BioCF ini saja, tetapi jauh sebelumnya konsorsium OCFI menemukan bahwa Jambi juga sudah seringkali menjadi bagian dari proyek besar percontohan untuk perubahan iklim di Indonesia. Misalnya yang masih berdekatan dengan REDD+, ada project Berbak Ekosistem di tahun 2009 – 2012, dangan dana sekitar 290 ribuan ponsterling.

“Kenapa kami penting mendorong kajian tentang good governance di Indonesia? Temuan dasar kami di level nasional, tata kelola pendanaan perubahan iklim yang menggunakan adopsi tentang asas pemerintahan yang baik berdasarkan undang-undang itu juga tidak cukup kuat di level nasional. Umumnya dia hanya dijadikan prinsip, tapi praktek khusus tentang tata kelola yang baik itu cukup lemah di level nasional,” papar Direktur Indonesian Governance Institute, Muhammad Affan, dalam forum itu.

“Padahal,” tambahnya, “Hasil riset kita 2019 menunjukkan bahwa sektor sektor yang menjadi fokus dari pendanaan perubahan iklim ini, terutama di negara negara indeks presepsi korupsinya rendah termasuk Indonesia, itu adalah sektor sektor yang rentan terhadap prilaku korupsi.”

Sebagian besar dana perubahan iklim yang masuk ke Indonesia adalah berbentuk hutang, hibah hanya menjadi bagian kecilnya saja. Itu artinya, ada sesuatu yang harus dibayarkan rakyat Indonesia kepada si pemberi dana. Maka penguatan tata kelola dana yang tepat sasaran dan akuntabel menjadi penting, agar anak cucu kita kelak tidak menanggung beban hutang masa lalu.***

Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil atas Penghargaan OGP Awards 2023 untuk Indonesia: Pentingnya Bantuan Hukum untuk Kelompok Rentan

Tallinn, 6 September 2023 – Sebagai salah satu penggagas Open Government Partnership (OGP), delegasi Indonesia hadir dan diundang dalam perhelatan OGP Global Summit 2023 yang diselenggarakan di Tallinn, Estonia. Dalam kesempatan tersebut, delegasi Indonesia menerima penghargaan internasional untuk isu Perluasan Bantuan Hukum untuk Kelompok Rentan.             

Salah satu delegasi tersebut berasal dari perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah di Sektor Akses Keadilan, yang terdiri dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Asosiasi LBH APIK Indonesia; dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)) dengan Kementerian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini memenangkan penghargaan nomor 1 dari hasil seleksi terhadap 47 negara anggota OGP se-Asia Pasifik.

Perluasan Bantuan Hukum Kelompok Rentan merupakan salah satu komitmen yang digagas Pemerintah dan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Rencana Aksi Nasional Open Government Indonesia (RAN OGI) 2023-2024. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, melalui UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dimandatkan untuk menyediakan bantuan hukum gratis bagi kelompok masyarakat miskin.

Untuk memastikan hal ini, Pemerintah memiliki mekanisme anggaran bantuan hukum yang dapat digunakan oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH) untuk pelaksanaan dan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan keadilan, dalam hal ini kelompok masyarakat miskin. Mekanisme anggaran bantuan hukum ini juga direplikasi oleh beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota dengan memberikan anggaran bagi pemberian bantuan hukum gratis bagi kelompok masyarakat miskin melalui APBD dengan peraturan daerah.

Sebelumnya pada tahun 2021, diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 4 Tahun 2021 mengenai Standar Layanan Bantuan Hukum. Dalam kebijakan ini, OBH perlu melakukan asesmen kebutuhan sebelum mendampingi kelompok rentan. Tidak hanya itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari IJRS, PBHI, dan Asosiasi LBH APIK Indonesia juga telah menghasilkan berbagai riset terkait yaitu Survei Kebutuhan Hukum bagi Kelompok Rentan dan Kajian Anggaran Bantuan Hukum yang Berperspektif Kelompok Rentan yang menjadi acuan untuk perbaikan kebijakan bantuan hukum di Indonesia.

Pemberian bantuan hukum, pendampingan kepada kelompok rentan, dan penguatan kapasitas pemberi bantuan hukum agar sensitif terhadap kebutuhan kelompok rentan, juga tanpa lelah terus dilaksanakan oleh PBHI serta Asosiasi LBH APIK Indonesia di berbagai wilayah di Indonesia.

Pemberian penghargaan ini diharapkan dapat  menjadi pengingat bagi Pemerintah Indonesia serta kelompok masyarakat sipil untuk menghadapi berbagai tantangan selanjutnya dalam memastikan pemenuhan akses keadilan tidak berhenti pada tahap seperti sekarang ini saja. Berdasarkan hasil Survei Kebutuhan Hukum Kelompok Rentan di tahun 2022 menemukan adanya 47.7% kelompok rentan masih enggan untuk menggunakan bantuan hukum dengan alasan khawatir prosesnya akan sulit dan proses dianggap lama atau bertele-tele. Selain itu, 50% kelompok rentan cenderung membutuhkan konsultasi ketika bermasalah hukum, namun anggaran konsultasi dalam pos non-litigasi bantuan hukum dari negara masih sangatlah minim yaitu hanya Rp 200.000,- per perkara, serta timpang dibandingkan anggaran litigasi di peradilan. Belum lagi, masih ditemukan adanya pengetahuan terhadap akses layanan bantuan hukum yang cenderung rendah di mana 42.8% kelompok rentan tidak mengetahui kemana harus mencari bantuan hukum gratis, dan 58.7% masih menganggap permasalahan hukum hanya dapat diselesaikan jika memiliki uang lebih.

Kondisi-kondisi ini menggambarkan bahwa masih diperlukannya upaya perbaikan secara menyeluruh agar bantuan hukum bagi kelompok rentan yang aksesibel perlu ada berbagai langkah-langkah strategis dan inovatif pada level kebijakan kedepannya. Seperti contoh, perlu adanya perluasan target penerima bantuan hukum agar juga dapat benar-benar diakses serta membantu kelompok rentan baik itu perempuan, anak, masyarakat adat, kelompok disabilitas, minoritas gender, dan sebagainya dalam memperoleh keadilan yang dibutuhkan. Hal ini juga menjadi salah satu rekomendasi dari Konferensi Nasional Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia dan Kelompok Masyarakat Sipil pada tahun 2019 lalu.

Penghargaan yang diperoleh ini patut diapresiasi sebagai buah dari upaya-upaya yang selama ini telah dikolaborasikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan Pemerintah untuk memastikan bantuan hukum kelompok rentan yang aksesibel. Namun, hal ini tidak akan menjadi titik akhir dari langkah penguatan bantuan hukum secara umum di Indonesia. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu untuk diselesaikan agar bantuan hukum dapat secara riil membantu masyarakat yang membutuhkan keadilan. Beberapa langkah-langkah strategis yang dicatat oleh KoalisiMasyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah, untuk ditindaklanjuti bersama yaitu sebagai berikut:

  1. Pemerintah Indonesia perlu tetap melibatkan masyarakat sipil dalam setiap pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan Bantuan Hukum dengan memberikan ruang seluas-luasnya dalam setiap tahapan, untuk memastikan akuntabilitas dan pembuktian komitmen Pemerintah setelah mendapatkan OGP Award; 
  2. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM bersama Dewan Perwakilan Rakyat perlu memastikan kelompok rentan lainnya (selain masyarakat miskin) menjadi penerima bantuan hukum melalui revisi pada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
  3. Kementerian Hukum dan HAM melalui BPHN dan Bappenas perlu untuk melakukan asesmen kebutuhan secara berkala kepada penerima manfaat dari layanan bantuan hukum khususnya kepada kelompok rentan–termasuk memastikan akomodasi yang layak dan pemenuhan berbagai kebutuhan berbagai kelompok rentan ketika berurusan dengan hukum. Hal ini sesuai dengan mandat dalam Permenkumham No. 4 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum. Sehingga, perencanaan, penganggaran, dan pemberian bantuan hukum lebih akuntabel dan tepat sasaran; 
  4. Kementerian Hukum dan HAM bersama Bappenas dan Kementerian Keuangan perlu memastikan anggaran bantuan hukum disusun, dianggarkan, dan diberikan sesuai kebutuhan yang ada di lapangan. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa layanan non-litigasi merupakan layanan yang paling banyak diakses dan dibutuhkan oleh masyarakat, terkhusus kelompok rentan. Oleh karenanya, anggaran non-litigasi perlu untuk ditingkatkan secara signifikan untuk dapat memenuhi kebutuhan yang muncul;
  5. Kementerian Hukum dan HAM bersama pemangku kepentingan lainnya yang relevan, perlu terus memastikan kesadaran dan kemampuan hukum masyarakat dengan melakukan berbagai sosialisasi yang disesuaikan dengan karakteristik kelompok rentan yang ada, pendalaman di level pendidikan dasar, pemberdayaan dan penyuluhan hukum melalui skema non-litigasi, hingga kolaborasi dengan, aparat penegak hukum, penyedia layanan serta OBH dan masyarakat sipil lainnya untuk mempromosikan dan mengupayakan bantuan hukum yang inklusif.

Narahubung:

arsa@ijrs.or.id / Arsa, IJRS

kanjeng.darwanto@gmail.com / Darwanto, Sekretariat CSO-OGP Indonesia

bona@infid.org / Bona, INFID

(rlh)

Bantuan Mengalir Deras, Tata Kelola Dana Perubahan Iklim Harus Akuntabel

Perubahan iklim menjadi ancaman katastropik secara global. Begitu juga Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut hingga hilangnya pulau-pulau. Belum lagi masalah suhu dan emisi gas rumah kaca yang mengalami tren kenaikan, bahkan Indonesia diperkirakan mengalami kerugian ekonomi sebesar 0.66 – 3,45 persen Produk Domestik Bruto (PDB) akibat perubahan iklim.

Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya melalui konsep Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (REDD) yang kemudian dalam perkembangannya berubah menjadi REDD+ dalam agenda COP 11 pada 2015, Indonesia sudah mengantongi komitmen pendanaan untuk ambisi nol emisi dari dunia International. Climate Policy Initiative (CPI) pada 2015 misalnya, Indonesia mendapatkan bantuan dana dari luar negeri sekitar 900 juta dollar AS pada 2011. Laporan KLHK juga menyebutkan bahwa Indonesia juga mendapatkan dana sekitar 1,8 miliar dollar AS selama kurun 2015 – 2016.

Dalam diskusi bertajuk “Tata Kelola Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia, yang diselenggarakan oleh konsorsium Open Climate Fund in Indonesia (OCFI) diampu oleh tiga organisasi masyarakat sipil: MediaLink, Indonesia Governance Institute (IGI) dan Indonesia Budget Center (IBC), bekerjasama dengan Kementerian Keuangan RI, pada Jumat (07/07/2023), OCFI mencermati dari data awal bahwa bantuan internasional untuk pendanaan perubahan iklim bukan sekadar hibah, tapi juga dalam bentuk pinjaman.

Direktur Indonesia Governance Institute (IGI) Muh. Affan dalam diskusi tersebut mengatakan, sebagian besar bantuan internasional untuk pendanaan perubahan iklim di Indonesia dalam bentuk pinjaman:

“Hibah dari internasional tidak begitu besar sebenarnya,” kata Muh. Affan dalam diskusi bertajuk

Affan menuturkan, 99 persen bantuan internasional yang dikucurkan ke Indonesia untuk agenda perubahan iklim dalam bentuk pinjaman. Sedangkan bantuan dunia internasional dalam bentuk hibah hanya 1 persen.  “Tapi seolah-olah yang lebih tampil ke publik adalah dana hibah yang mengelola soal perubahan iklim di Indonesia,” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Joko Tri Haryanto menyebutkan bahwa kondisi tersebut tidak lepas lantaran pengelolaan pendanaan perubahan iklim mengalami perubahan paradigma. Joko mengatakan, pemerintah tidak ingin mengandalkan APBN dalam pendanaan perubahan iklim.

“Kalau konvensional, paradigmanya selalu pendekatannya cost center (APBN). Padahal, harusnya kita mulai reform dari cost center ke pembiayaan atau financing sehingga tidak menghabiskan dana APBN,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Joko menuturkan pemerintah melakukan berbagai inovasi pendanaan perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya penerbitan green sukuk pada tahun 2018 di mana setiap tahun pemerintah menerbitkan global green sukuk secara rutin untuk pembiayaan perubahan iklim. Lalu, ada juga Sustainable Development Goals (SDG’s) Bond.  Ini juga dipakai untuk pembiayaan climate.

Lebih lanjut, Affan menyadari memang APBN tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim yang mencapai Rp.377 triliun per tahun. Bahkan, dalam enam tahun terakhir, anggaran perubahan iklim yang bersumber dari APBN masih di bawah 7 persen. Hanya saja, sambung dia, pengelolaan dana perubahan iklim yang bersumber dari bantuan internasional masih belum transparan. Informasi mengenai pendanaan perubahan iklim juga terbatas.  Oleh sebab itu, Affan menekankan pentingnya akuntabilitas dan informasi komprehensif serta fokus dalam pengelolaan dana perubahan iklim, khususnya Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai lembaga penampung dan penyalur dana perubahan iklim yang dibentuk pemerintah pada 2019.

Apalagi, sebagian besar dana perubahan iklim yang diterima Indonesia dari luar negeri. “Artinya, meskipun dana itu untuk perubahan iklim, mengurangi emisi, tapi juga (pinjaman) itu berimplikasi kepada hutang yang akan ditanggung oleh anak cucu kita nanti. Perlu pengelolaannya yang transparan dan akuntabel,” tandas dia.

Lebih lanjut, Peneliti MediaLink, Tanti Budi Suryani mengingatkan pentingnya tata kelola pendanaan perubahan Iklim yang transparan dan akuntabel, terutama yang bersumber dari bantuan internasional baik dalam bentuk pinjaman maupun hibah.

“Bagaimana skema pendanaan maupun pembiayaan itu bisa benar-benar bermanfaat buat masyarakat,” tegas dia.

Tanti khawatir pengelolaan pendanaan perubahan iklim akan menimbulkan persoalan. Apalagi, beberapa pemerintah daerah juga turut mengelola dana perubahan iklim. Salah satunya Provinsi Jambi yang bakal mengelola dana sebesar 70 juta dollar AS untuk melaksanakan BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Lanscape (BioCF-ISFL)—program fasililitas multilateral yang didukung oleh pemerintah Negara pendonor dan dikelola oleh Bank Dunia. Begitu juga dengan Provinsi Kalimantan Timur bakal menerima dana sebesar 110 juta dollar AS dari Bank Dunia melalui Program Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF). Di mana pembayaran tahap pertama pada November 2022 lalu, Kalimantan Timur sudah mengantongi 10,9 juta dollar AS.

“Saya yakin ke depannya kalau coba kita petakan dari kerjasama-kerjasama itu, pasti akan ada beberapa daerah yang memiliki kerjasama juga,” tegas Tanti.

(rlh)

Negara Harus Memperhatikan Hak-Hak Korban Terorisme

Jakarta, 26 Juli 2023 – Terorisme selalu meninggalkan bekas luka mendalam paska kejadian bagi masyarakat yang terkena dampak karena selalu menimbulkan akibat serius baik itu secara penderitaan fisik, pikologis, psikososial, ataupun harta benda yang diakibatkan oleh aksi kekerasan tersebut. Tidak hanya itu, aksi terorisme juga kerap menimbulkan situasi kondisi  teror yang mencekam seluruh lapisan masyarakat.

Dampaknya  yang meluas dan mendalam tersebut menyebabkan, tindak terorisme tidak lagi dianggap masalah yang ringan (soft issues) tetapi sudah berubah menjadi masalah yang strategis (high politic) dan sebagai bagian dari kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis).

Terkait dengan terorisme, sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur hal ini. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan masyarakat korban terorisme. Kendala lainnya dalam upaya pemulihan tindak terorisme adalah, kurangnya penanganan paska aksi terorisme menggunakan perspektif gender-based approach.

Sampai saat ini, apa yang dijanjikan pemerintah seperti yang tertuang dalam peraturan, belum sepenuhnya terlaksana. Padahal kita benar-benar butuh perhatian itu,” ujar Wakil Ketua Forum Komunikasi Aktifis Akhlakulkarimah Indonesia (FKAAI) Tony Soemarno dalam Diskusi Media yang digelar Medialink bersama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta pada 26 Juli 2023.

Menurut Tony yang juga korban tragedi Bom JW Marriot tahun 2009, sampai saat ini perhatian negara terhadap korban terorisme masih terkesan kurang serius dan bernada basa basi. “Program asuransi BPJS yang dijanjikan misalnya, hingga kini belum jelas. Kami pun tidak dapat mengakses sampai di mana perkembangan asuransi yang akan dibayarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” sambung Tony.

Senada dengan Tony Soemarno, pakar terorisme yang juga staf pengajar Universitas Indonesia Dr Zora A. Sukabdi melihat masalah terorisme ini merupakan masalah global yang penanganannya tidak sederhana. Janji pemerintah terhadap korban terorisme misalnya, juga tidak segampang yang dirumuskan,  terlebih jaminan pemerintah terhadap korban paska kejadian.

Zora mencontohkan, untuk menyikapi rencana kepulangan para WNI eks TKI yang sebelumnya terpapar radikalisme di sejumlah negara terdapat perbedaan kebijakan di antara lembaga pemerintahan.

“Untuk TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri, perlu diberikan pembekalan, pemeriksaan fisik dan psikis oleh psikiater dan psikolog klinis demikian juga bagi TKI yang akan kembali ke tanah air terutama mereka maupun anak-anak yang terafiliasi dengan terorisme juga penting untuk diberikan pendalaman Ideologi Pancasila sebelum kembali ke daerah asal” ujarnya.

Untuk mendorong keseriusan pemerintah  dalam merealisasikan janji-janji mereka kepada korban terorisme, peran media massa pun sangat diperlukan. Selama ini pemberitaan media terkait terorisme masih seputar jumlah korban dan belum berperspektif korban.

“Dari hasil media monitoring yang dilakukan oleh Medialink, ada kecenderungan pemberitaan oleh media jika ada kaitan dengan kekerasan, ada terorisme, ada persekusi, dan hanya memberitakan tentang angka korban dan dalam kasus radikalismepun ikut berperspektif pelaku, padahal kita ingin agar korban ini tidak hanya diposisikan sebagai obyek tapi juga sebagai subyek,” jelas Direktur Eksekutif Medialink Ahmad Faisol.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jakarta, Erik Somba menghimbau agar media yang tergabung dalam asosiasi ikut terlibat aktif serta mengulas isu terorisme dan isu-isu strategis lainnya tidak hanya sekedar menitikberatkan pada statistik.

“Soal terorisme, kami menghimbau semua teman-teman asosiasi untuk tetap menjadikan isu ini sebagai sebuah isu karena kita gak melihat isu itu cuma sebagai statistik” jelas Erik Somba.

Pernyataan Erik Somba diperkuat oleh keterangan Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Adi Prasetya. Menurutnya AMSI sangat concern terhadap soal-soal pemberitaan tata laksana pengelolaan media.

“Kita terus berupaya untuk membangun media yang menyertakan pemberitaan terkait isu-isu strategis yang tidak hanya mengejar traffic tapi menomorduakan perspektif. Keduanya harus berjalan beriringan dan seirama,” kata Adi Prasetya dalam acara tersebut.***

(rlh)

Negara Setengah Hati Urus Konflik Keagamaan

Jakarta, 22 Juni 2023 – Penolakan sejumlah warga masyarakat di Tambun Selatan Kabupaten Bekasi yang menghentikan kegiatan ibadah di Rumah Doa Fajar Pengharapan, menjadi ancaman bagi keberagaman Indonesia. Terlebih sekarang kita lagi berupaya untuk menumbuhkan sikap saling menghormatidan menghargai keberagaman di masyarakat.


Kejadian di Tambun Selatan Kabupaten Bekasi merupakan rentetan kejadian yang berpotensi mengancam gerakan moderasi beragama. “Literasi masyarakat kita terhadap moderasi beragama masih lemah. Ini menjadi agenda kita semua untuk mengupayakan adanya “aware” terhadap nilai-nilai pluralistik,” ujar Direktur Eksekutif Medialink Ahmad Faisol dalam acara “Editor Meeting & Kelas Jurnalisme” di Jakarta, 22 Juni 2023.

Faisol menambahkan bahwa tugas mensosialisasikan dan menumbuhkan sikap keberagamaan yang moderat bukan saja tugas aktor-aktor masyarakat dan negara, tapi juga menjadi peran yang harus diambil media.

Media jangan hanya terjebak pada tugas “memberitakan” saja, tanpa memberi arti betapa pentingnya menumbuhkan sikap keberagamaan yang inklusif di masyarakat. Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang plural dan heterogen. “Perubahan jaman yang semakin digital, tak mengubah tugas media sebagai pilar keempat dan pengawas demokrasi masih relevan hingga sekarang. Itu prinsip yang harus tetap dijaga,” tegas Faisol.


Dalam penelitian Medialink, pemberitaan terkait isu-isu konflik keagamaan di masyarakat memang massif. Namun isu yang ditampilkannya banyak yang kurang menyampaikan pesan pentingnya hidup yang dilandasi dengan nilai-nilai moderasi dan inklusifitas. Tidak hanya media, negara juga sangat dibutuhkan perannya. Selama ini negara terkesan abai dan cuek melihat konflk-konflik keagamaan yang terjadi di masyarakat.

“Sinyalemen banyaknya konflik-konflik keagamaan di masyarakat yang tidak selesai semakin memperkuat tuduhan tersebut. harusnya negara bersikap tegas dalam hal ini,” jelasnya.

Editor Meeting AMSI dan Medialink: Literasi Jadi Kunci Wujudkan Harmoni Kebhinekaan

Medialink bersama dengan AMSI melakukan penelitian terkait monitoring media dimana hasil dari penelitian tersebut disampaikan saat Editor Meeting dalam acara Focus Group Discussion (FGD) dan diakhiri dengan buka puasa bersama yang dilaksanakan pada Senin (17/04/2023) di Kafe Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat.

Menurut Direktur Eksekutif Medialink Faisol, Medialink lebih memfokuskan pada penelitian pada isu-isu keberagaman, kebangsaan, kebhinekaan, dan pentingnya peran media dalam menyuguhkan konten positif dari praktek keberagaman dan kebebasan beragama yang ada di Indonesia.

Hal baik dari kebhinekaan yang sering kali tertutupi oleh banyaknya pemberitaan kasus kecil dan partial sehingga keberagaman di Indonesia dipandang sebagai suatu opini yang negatif juga menjadi hal yang dipaparkan oleh Direktur Eksekutif MediaLink.

Faisol juga menyampaikan apresiasi dan penghargaa kepada media yang mengangkat isu-isu dari keberagaman sehingga menjadi atensi publik, namun ia akan lebih baik jika media mengimbangi berita negatif tersebut dengan berita positif dari keberagaman yang ada di Indonesia dengan tujuan mengimbangi algoritma dunia digital.

MediaLink dan AMSI berencana untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih baik untuk masyarakat dengan memperkuat literasi masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kemampuan untuk memilah konten yang layak untuk dikonumsi.

Literasi adalah kunci demi terciptanya konten yang positif dan berkualitas. Media memiliki peran untuk menyediakan tempat bagi masyarakat untuk menyuarakan isu keberagaman serta ditunjang dengan literasi yang baik.

Faisol juga  mengusulkan peran aktif Pemerintah melalui program kementrian dan lembaga seperti Kominfo untuk memperbanyak program literasi. Saat ini, media sosial didominasi oleh konten negatif, oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengntensifkan penguatan literasi. Jika literasi berkembang, maka teknologi untuk memanfaatkan teknologi itu juga harus berkembang.

Terakhir, Faisol berharap benih-benih toleransi, keberagaman dan kebhinekaan akan terus tetap hidup di berbagai daerah dan wilayah di Indonesia.

Jelang Pemilu Tahun 2024: Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Desak Partai Politik Buka Informasi Keuangan kepada Masyarakat

Sumber foto: website MNC Trijaya

Jakarta, 2 Mei 2023 – Pemilihan umum serentak tahun 2024 tinggal menghitung waktu. Praktis seluruh partai politik mulai bergerilya menarik simpati masyarakat untuk meraup suara sebanyak-banyaknya demi memenangkan kontestasi pesta demokrasi. Mudah ditebak, janji politik sudah barang tentu bertaburan kepada masyarakat, tak terkecuali menyangkut isu antikorupsi. Namun, sebagaimana terjadi pada periode sebelumnya, janji yang diucapkan kerap berbeda dengan realita sebenarnya. Oleh karena itu, penting untuk menguji konsistensi antikorupsi partai politik jelang pemilu mendatang, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas keuangan organisasi. 

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah meletakkan Partai Politik sebagai Badan Publik. Maka dari itu, konsekuensi logis dari pengaturan itu pun menegaskan bahwa segala informasi, termasuk laporan pengelolaan keuangan, wajib disediakan secara berkala oleh partai politik. Ditambah lagi terdapat yurisprudensi putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 207/VI/KIP-PS-M-A/2012 antara ICW melawan Partai Demokrat yang memutuskan rincian laporan keuangan partai dikategorikan sebagai informasi terbuka. Melandaskan pada regulasi dan yurisprudensi tersebut, tidak ada pilihan lagi bagi partai untuk berdalih menutupi informasi keuangannya dari masyarakat. 

Sepanjang bulan April lalu, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (Sumatera Utara), Lembaga Perkumpulan Media Lintas Komunitas (DKI Jakarta), Aliansi Jurnalis Independen Surabaya (Jawa Timur), Bengkel Advokasi Pengembangan dan Pemberdayaan Kampung (Nusa Tenggara Timur), dan Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Sulawesi Selatan) serentak mengajukan permintaan informasi keuangan kepada sejumlah partai politik. Adapun informasi yang diminta terdiri dari lima bagian, diantaranya:

  1. Surat Keputusan Partai yang memuat Daftar Program Umum tahun 2020 dan 2021.
  2. Rencana Penggunaan Anggaran Partai Tahun 2020 dan 2021.
  3. Laporan Realisasi Anggaran Partai Tahun 2020 dan 2021.
  4. Laporan Neraca Partai Tahun 2020 dan 2021.
  5. Laporan Arus Kas Partai Tahun 2020 dan 2021.

Untuk partai politik sendiri, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi meminta informasi pada tingkat pusat dan daerah. Secara lebih rinci, pembagian partainya sebagai berikut:

  1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 
  2. Partai Gerakan Indonesia Raya
  3. Partai Golongan Karya
  4. Partai Demokrat
  5. Partai Nasdem
  6. Partai Kebangkitan Bangsa
  7. Partai Keadilan Sejahtera
  8. Partai Amanat Nasional
  9. Partai Persatuan Pembangunan
  10. Partai Solidaritas Indonesia
  11. Partai Persatuan Indonesia
  12. Partai Hati Nurani Rakyat
  13. Partai Bulan Bintang

Merujuk pada UU KIP, belasan partai politik di atas memiliki waktu selama 10 hari untuk menjawab permintaan informasi tersebut. Jika tak kunjung dijawab, maka Koalisi Masyarakat Sipil akan meneruskan mekanisme permohonan informasi hingga nanti berujung pada persidangan sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat.

Pelatihan Lapang Sekolah Pemuda: Demokrasi, Lingkungan, dan Pembangunan di Kabupaten Brebes

MediaLink bersama Public Virtue Research Institute dan Center of Climate and Urban Resilience yang didukung oleh Embassy of Canada telah menyelenggarakan kegiatan On Site Training School of Youth: Democracy, Enviroment, and Development di Kabupaten Brebes. Kegiatan ini berlangsung selama 4 hari 3 malam yang hadiri oleh 24 peserta pemuda terdiri dari 12 peserta dari Kabupaten Brebes dan 12 peserta lainnya berasal dari berbagai daerah seperti Malang, Banda Aceh, Banjarmasin, Bogor, Jember, Yogyakarta, Banten, Halmahera Utara, Medan, Jakarta, Jambi, dan juga Makassar. selain itu, kegiatan ini dihadiri langsung oleh perwakilan dari  Embassy of Canada.

Peserta pelatihan terpilih akan melakukan banyak kegiatan seperti diskusi terkait isu daerahnya masing-masing, lalu berkunjung ke hutan Mangrove, dilanjut dengan menanam bibit Mangrove, dan mengunjungi kerajinan Batik Mangrove, serta merumuskan isu bersama yang akan menjadi gerakan advokasi bersama.

Pada hari Kamis tanggal 20 Oktober 2022 pukul 19.00 WIB peserta berkumpul di Pendopo Bumiayu untuk melaksanakan acara welcoming dinner bersama Bupati Brebes Hj. Idza Priyanti, A.Md., S.E., M.H., beserta Wakil Bupati  Brebes Narjo, S.H., M.H.. Selama kegiatan berlangsung peserta langsung disajikan makanan khas Brebes yaitu sate blengong dan rasanya tak perlu diragukan lagi. Setelah acara welcoming dinner seluruh peserta diantar menuju wisma PGRI sebagai tempat istirahat mereka selama 3 hari kedepan.

Pada hari Jumat tanggal 21 Oktober 2022, di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, pukul 08.30 berlangsung pembukaan acara kegiatan On Site Training School of Youth: Democracy, Enviroment, and Development secara resmi oleh Wakil Bupati Brebes Narjo, S.H., M.H., dan dilanjutkan dengan kegiatan Webinar Simposium Nasional “Sustainable Development With Youth Engagement” merupakan salah satu bagian dari acara tersebut. Dilanjut dengan kegiatan diskusi antar kelompok dan para peserta harus mengumpulkan dan memberikan pandangan terkait isu dari daerah masing-masing. Dari keseluruhan isu yang telah terhimpun, tiap kelompok harus mempresentasikan isu utama dan wajib berkaitan dengan 4 subtansi yaitu pemuda, demokrasi, lingkungan, dan pembangunan. Rangkaian kegiatan hari pertama ditutup dengan diskusi seluruh peserta untuk merembukkan isu utama yang akan menjadi gerakan advokasi bersama yang berkelanjutan serta dari isu tersebut peserta bisa membuat kampanye digital dan melakukan perubahan. Sesuai dengan keputusan bersama dalam diskusi tersebut diputuskannya ketua Atika Nurrohmah (Brebes), sekretaris Ahmad Khudori (Serang, Banten), dan juga notulensi Nisrina Atikah (Makassar).

Pada hari Sabtu, 22 Oktober 2022 seluruh peserta School of Youth : Democracy, Environment and Development melakukan field trip menuju Desa Wisata Mangrove Pandansari (Dewi Mangrovsari) merupakan salah satu ekowisata yang berada di pesisir utara tepatnya di Dukuh Pandansari Desa Kaliwlingi Kabupaten Brebes. Disana para peserta diajak untuk menanam bibit Mangrove dimana lokasinya berada di pulau pasir, bersama dengan Bapak Rasjani selaku Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) beserta jajarannya dan juga Jesica dari Canada Fund for Local Initiatives (CFLI). Tidak hanya menanam, peserta pun melakukan observasi objek utamanya yaitu Hutan Bakau yang harus diakses menggunakan perahu, selama perjalanan menuju lokasi hutan mangrove peserta dimanjakan oleh vegetasi mangrove yang berada di kanan dan kiri aliran sungai Pemali.

Dukuh Padan Sari, Kabupaten Brebes merupakan salah satu daerah pesisir selatan yang memiliki hutan mangrove sepanjang 1,8 km. Terdapat 1673 hektare dan 6.800.000 batang yang sudah tertanam sejak tahun 2005. Indonesia sendiri memiliki 202 jenis tumbuhan mangrove, namun yang terdapat di daerah Brebes baru 23 jenis tanaman mangrove. Penanaman mangrove ini didorong oleh adanya kemauan masyarakat untuk memecahkan masalah yang selama ini dialami oleh penduduk Dukuh Pandansari yaitu adanya abrasi yang sangat merugikan penduduk sekitar. Hal itu mendapatkan support dari lembaga baik NGO, CSR, Akademisi, Perusahaan baik dalam dan luar negeri, Pemerintah Daerah bahkan Pemerintah Pusat yang berkontribusi nyata. Pada tahun 2016. Kawasan hutan mangrove resmi menjadi destinasi wisata yang dinamai dengan sebutan Dewi Mangrove Pandansari. Peresmian ini dilakukan secara langsung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersama Pemerintah Kabupaten Brebes. Di tahun yang sama Dewi Mangrove Sari juga mendapat penghargaan Presiden yaitu mendapat peringkat 3 Pelestarian Alam Nasional. Hingga saat ini tercatat ada 16 Negara pernah berkunjung di Dewi Mangrove Pandansari ini.

Sejak ekowisata Dewi Mangrovesari launching pada tahun 2016 telah memberikan perubahan hidup kepada masyarakat atau dengan kata lain telah menyelesaikan masalah domino yang hadir dari aspek lingkungan dan aspek ekonomi, karena secara lingkungan, menimbulkan kekhawatiran mengenai pasang naik ombak air laut yang berpotensi menghantam pemukiman warga, perkebunan, dan tambak telah mengalami penurunan signifikan. Mangrove sendiri memiliki nutrisi yang baik berupa kesuburan tanah yang berada disekitarnya, keberadaannya juga sama sekali tidak mengganggu keseimbangan dari ekosistem yang ada ditepi pantai. Masyarakat yang berada di wilayah tersebut kebanyakan bekerja sebagai nelayan dimana sifat biologis mangrove sendiri dapat memberikan ruang untuk biota air untuk berkembang biak. Mangrove juga dapat diolah menjadi berbagai kerajinan sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. Dengan adanya Kawasan Pariwisata Hutan Mangrove ini memberikan dampak ekonomi yang sangat baik untuk masyarakat.

Menurut pernyataan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), pemasukan dari wisata mangrove ini bisa mencapai 50 juta per bulan yang terdiri dari retribusi kebersihan, tiket masuk, dan keamanan. Namun sejak pandemi melanda, pemasukan dari wisata mangrove ini turun drastis berkisar hanya 10 juta saja per bulan. Selain usaha-usaha tersebut, terdapat usaha mikro lain seperti garam godok (rebus), budidaya kepiting, batik mangrove, dan lainnya. Usaha mikro tersebut sebagian besar dikelola oleh ibu-ibu di desa Kaliwingi. Perbandingan kuantitas laki-laki dan perempuan di pokdarwis saat ini sekitar 80:20 orang. Pada pengelolaan Hutan Wisata Mangrove laki-laki lebih dominan dan yang mendominasi di produksi ekonomi kreatif olahan mangrove yaitu perempuan yang rata-rata adalah ibu-ibu, masih minim keterlibatan pemuda dalam hal tersebut. Namun untuk keterlibatan pemuda dalam Pokdarwis telah diupayakan oleh Ketua Pokdarwis yakni Bapak Rasjani.

Setelah melakukan observasi di hutan mangrove peserta juga di berikan kesempatan untuk mengunjungi Sanggar Batik Tulis dimana tempat tersebut merupakan tempat pembuatan batik mangrove. Sanggar Batik Tulis berdiri sejak tahun 2017, yang mana memiliki latar belakang terbentuknya ekowisata mangrove, sanggar batik mangrove sendiri dikelola oleh kelompok masyarakat yang diketuai oleh Ibu Runimpen yang memiliki anggota sebanyak 20 orang perempuan. Para pengrajin pada awalnya tidak memiliki keterampilan untuk membatik, namun pemerintah daerah mendukung penuh untuk meningkatkan skill mereka. Terbukti, hingga saat ini pengrajin dapat mengedukasi masyarakat hingga keluar provinsi mengenai batik mangrove. Dari hasil wawancara ditemukan fakta bahwasannya usaha rumahan pengrajin batik ini tidak di akomodir sebagai satu komunitas dengan pengelolaan administrasi sebagai satu kelompok UMKM dan juga kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah Brebes untuk seharusnya bisa dijadikan sebagai ikon daerah Brebes yang tentunya dapat menarik minat turis mendatangi Brebes.

Minggu, 23 Oktober 2022 dimana hari terakhir kegiatan National Youth Symposium School of  Yout: Democracy, Enviroment, and Development di Brebes. Para peserta dikumpulkan kembali di Kantor Pemda Kabupaten Brebes pukul 08.00 WIB disana para peserta melakukan persentasi dengan format persidangan, mempresentasikan hasil observasi kelompok dari hari pertama sampai terkahir yang dimana mereka juga harus menjelaskan terkait rekomendasi apa yang akan diberikan kepada Pemda Brebes. Dilanjutkannya dengan diskusi untuk mendapatkan isu besar serta strategi advokasi seperti apa yang akan dilakukan, dimana hal ini akan menjadi Post School Project bersama. Rangkaian acara terakhir ialah penutupan acara kegiatan National Youth Symposium School of Yout: Democracy, Enviroment, and Development yang secara resmi oleh Bupati Brebes Ibu  Hj. Idza Priyanti, A.Md., S.E., M.H., serta penyerahan hadiah kepada kelompok dengan laporan terbaik dan kelompok terkompak selama berlangsungnya acara.